Pakar biologi molekuler independen Ahmad Rusdam Utomo menerangkan bahwa vaksin Covid-19 yang dikembangkan di berbagai negara saat ini dibuat untuk mencegah gejala.
Bagaimana dengan penularan Covid-19? “Vaksin Covid-19 bisa mencegah penularan atau tidak masih belum diketahui,” ujar dia dalam acara virtual bertajuk “Apa yang Harus Diketahui Sebelum Melakukan Vaksinasi Covid-19?” yang digelar LaporCovid-19, Senin, 14 Desember 2020.
Beberapa produsen vaksin masih dalam proses pengujian, sementara ada yang sudah siap didistribusikan, misalnya Moderna, Johnson & Johnson, dan Pfizer dari Amerika Serikat; Sputnik dari Rusia; AstraZeneca dari Inggris; Sinopharm dan Sinovac dari Cina yang direncanakan akan digunakan di Indonesia.
Ahmad yang juga lulusan Harvard Medical School itu menjelaskan proses pengujian jika ingin melihat seberapa efektif vaksin untuk mencegah gejala dan penularan. Dalam pengujian secara saintifik, kata dia, harus membagi dua kelompok, yakni kelompok vaksin dan kelompok yang diberikan plasebo.
“Lalu kita bertanya, kalau kita misalnya mau menguji bahwa vaksin efektif tidaknya mencegah gejala, itu tentu mudah. Kita harus melakukan apa yang disebut dengan menghitung jumlah total kasus Covid-19 pada total relawan,” tutur dia.
Menurutnya, magic number-nya adalah 150. Semua pengembang vaksin, ketika diuji pada semua relawan, para ilmuwan harus menunggu sampai muncul terjadi 150 kasus Covid-19, secara total. Setelah itu mereka akan menghitung lagi, berapa yang terjadi pada plasebo, dan berapa yang divaksin.
“Lalu ada pertanyaan kedua, apakah vaksin akan mampu mencegah penularan? Nah ini lebih rumit, karena kita ketahui virus ini ketika menginfeksi tidak selalu menimbulkan gejala, ada yang namanya asimtomatik, tidak bergejala,” katanya.
Artinya, Ahmad melanjutkan, jika mendesain sebuah vaksin untuk mencegah penularan, maka harus dibuktikan dengan langkah yang lebih rumit. Untuk itu, harus menguji swab PCR semua relawan setiap dua minggu. Kemudian menghitung berapa kasus PCR positif, tanpa melihat adanya gejala atau tidak.
“Sekarang bisa dibayangkan, melakukan swab PCR dua minggu sekali pada relawan, itu saya saja baru swab sekali rasanya masih ingat, apa lagi dua minggu sekali selama setahun,” tutur Ahmad.
Namun, hal itu penting untuk dibuktikan agar vaksin benar-benar mampu mencegah penularan Covid-19. Setelah itu, langkah selanjutnya adalah, dari kasus PCR positif tadi, akan dicari kontak erat masing-masing relawan.
Dengan itu, mantan peneliti utama di Stem Cell and Cancer Institute besutan Kalbe Farma itu menambahkan, bisa terlihat nanti apakah yang sakit berhenti atau tidak. Setelah itu harus dites swab PCR kembali. “Jadi sangat rumit dan panjang prosesnya,” katanya.
Menurutnya, dalam uji klinis, sistem pembiayaannya tidak hanya ditanggung oleh pemerintah dan lembaga atau yayasan nirlaba, tapi ada pemegang saham yang tidak ingin rugi. Sehingga perusahaan akan menghitung berapa investasi yang kira-kira cukup sampai mendapatkan hasil yang relatif baik.
Karena keterbatasan ini, Ahmad berujar, akhirnya sampai sekarang tidak punya bukti apakah vaksin yang ada saat ini mampu mencegah penularan atau tidak. Namun, Ahmad juga berharap ada juga vaksin Covid-19 yang bisa mencegah penularan.
“Masalahnya hanya pembuktian saja. Karena rancangan dari bukti klinisnya hanya melihat timbul gejala atau tidak, itu saja. Karena belum terbukti mencegah penularan, semua yang divaksinasi harus tetap menerapkan protokol kesehatan 3M (menjauhi kerumuman, memakai masker, dan mencuci tangan),” tutur dia.